Kisah orang solih : Abu Qilabah
Gambar hiasan sahaja |
Abu Ibrahim bercerita:
Suatu ketika, aku berjalan-jalan di padang pasir . Aku tersesat dan
tidak berjumpa jalan pulang. Di sana kutemukan sebuah khemah lama dan
lusuh… kuperhatikan khemah tersebut, dan ternyata di dalamnya ada
seorang tua yang sedang duduk di atas tanah dengan keadaan sangat
tenang.
Ternyata keadaan orang tua tersebut kedua-dua tangannya kudung… matanya
buta… dan hidup sebatang kara tanpa sanak saudara. Kulihat bibirnya
terkomat-kamit mengucapkan beberapa kalimat..
Aku mendekati untuk mendengar ucapannya, dan ternyata ia mengulang-ulang kalimat berikut:
الحَمْدُ لله الَّذِي فَضَّلَنِي عَلَى كَثِيْرٍ مِمَّنْ خَلَقَ
تَفْضِيْلاً .. الحَمْدُ للهِ الَّذِي فَضَّلَنِي عَلَى كَثِيْرٍ مِمَّنْ
خَلَق تَفْضِيْلاً ..
Segala puji bagi ALLAH yang melebihkanku di atas banyak manusia… Segala
puji bagi ALLAH yang melebihkanku di atas banyak manusia…
Aku hairan mendengar ucapannya, lalu kuperhatikan keadaannya lebih
jauh… ternyata sebahagian besar panca inderanya tak berfungsi… kedua
tangannya kudung… matanya buta… dan ia tidak memiliki apa-apa bagi
dirinya…
Kuperhatikan keadaannya sambil mencari adakah ia memiliki anak yang
menjaganya? atau isteri yang menemaninya? Ternyata, tak ada seorang
pun…
Aku mendekatinya, dan ia merasakan kehadiranku… ia lalu bertanya: “Siapa? siapa?”
“Assalaamu’alaikum… aku seorang yang tersesat dan melihat kemah ini” jawabku, “Tapi kamu sendiri siapa?” tanyaku.
“Mengapa kau tinggal seorang diri di tempat ini? Di mana isterimu, anakmu, dan saudara-maramu? tanyaku..
“Aku seorang yang sakit… semua orang meninggalkanku, dan kebanyakan keluargaku telah meninggal…” Jawabnya.
“Namun kudengar kau mengulang-ulang perkataan: “Segala puji
bagi ALLAH yang melebihkanku di atas banyak manusia…!! Demi ALLAH , apa
kelebihan yang diberikan-Nya kepadamu, sedangkan engkau buta, faqir,
kudung kedua tangannya, dan sebatang kara…?!?” Ucapku.
“Aku akan menceritakannya kepadamu… tapi aku punya satu permintaan kepadamu, mahukah kamu mengabulkannya?” tanyanya.
“Jawab dulu pertanyaanku, baru aku akan mengabulkan permintaanmu.” kataku.
“Engkau telah melihat sendiri betapa banyak cobaan ALLAH atasku, akan
tetapi segala puji bagi ALLAH yang melebihkanku di atas banyak manusia…
bukankah ALLAH memberiku akal sihat, yang dengannya aku boleh memahami
dan berfikir…?
“Betul.” jawabku. Lalu katanya, “Berapa banyak orang yang gila?”
“Banyak juga.” jawabku. “Maka segala puji bagi ALLAH yang melebihkanku di atas banyak manusia.” Jawabnya.
“Bukankah ALLAH memberiku pendengaran, yang dengannya aku bisa mendengar
adzan, memahami ucapan, dan mengetahui apa yang terjadi di
sekelilingku?” tanyanya
.
“Iya benar.” Jawabku. “Maka segala puji bagi ALLAH yang melebihkanku di atas orang banyak tersebut.” Jawabnya.
“Betapa banyak orang yang tuli tak mendengar…?” Katanya.
“Banyak juga…” Jawabku. “Maka segala puji bagi ALLAH yang melebihkanku di atas orang banyak tersebut.” katanya.
“Bukankah ALLAH memberiku lisan yang dengannya aku boleh berdzikir dan menjelaskan keinginanku?” tanyanya.
“Iya benar” jawabku. “Lantas berapa banyak orang yg bisu tidak bisa bicara?” tanyanya.
“Wah, banyak itu.” Jawabku. “Maka segala puji bagi ALLAH yang melebihkanku di atas orang banyak tersebut.” jawabnya.
“Bukankah ALLAH telah menjadikanku seorang muslim yang menyembah-Nya…
mengharap pahala dari-Nya… dan bersabar atas musibahku?” tanyanya.
“Ya benar.” Jawabku. Lalu katanya, “Padahal berapa banyak orang yg
menyembah berhala, salib, dan sebagainya dan mereka juga sakit? Mereka
merugi di dunia dan akhirat…!!”
“Banyak sekali.” Jawabku. “Maka segala puji bagi ALLAH yang melebihkanku di atas orang banyak tersebut.” katanya.
Orang tua itu terus menyebut kenikmatan ALLAH atas dirinya satu-persatu…
dan aku semakin takjub dengan kekuatan imannya. Ia begitu mantap
keyakinannya dan begitu rela terhadap pemberian ALLAH.
Betapa banyak manusia selain beliau, yang musibahnya tidak sampai
seperempat dari musibah beliau. Mereka ada yang lumpuh, ada yang
kehilangan penglihatan dan pendengaran, ada juga yang kehilangan anggota
tubuhnya… tapi bila dibandingkan dengan orang ini, maka mereka
tergolong ‘sihat’. Pun demikian, mereka meronta-ronta, mengeluh, dan
menangis mengenangkan nasib. Mereka amat tidak sabar dan tipis
keimanannya terhadap balasan ALLAH atas musibah yang menimpa mereka,
padahal pahala ujian tersebut sangat besar.
Aku pun menyelami fikiranku makin jauh… hingga akhirnya khayalanku
terputus saat orang tua itu mengatakan: “Hmmm, bolehkah kusebutkan
permintaanku sekarang… mahukah kamu mengabulkannya?”
“Baiklah.. apa permintaanmu?” Kataku.
Maka ia menundukkan kepalanya sejenak seraya menahan tangis.. ia
berkata: “Tidak ada lagi yang tersisa dari keluargaku melainkan seorang
remaja berumur 14 tahun. Dia lah yang menghantar kepadaku makan dan
minum, serta mewudhukan aku dan mengurusi segala keperluanku. Sejak
malam tadi ia keluar mencari makanan untukku dan belum kembali hingga
kini. Aku tak tahu apakah ia masih hidup dan diharapkan kepulangannya,
ataukah telah tiada dan kulupakan saja… dan kamu tahu sendiri keadaanku
yang tua bangka dan buta, yang tidak mampu mencarinya…”
Maka kutanya ciri-ciri anak tersebut dan ia menyebutkannya, maka aku berjanji akan mencarikan remaja tersebut untuknya.
Aku pun meninggalkannya dan tak tahu bagaimana cara untuk mencari remaja tersebut… aku tak tahu harus memulai dari arah mana.
Namun tatkala aku berjalan dan bertanya-tanya kepada orang sekitar
tentang remaja tersebut, nampaklah olehku dari kejauhan sebuah bukit
kecil yang tak jauh letaknya dari kemah orang tua itu.
Di atas bukit tersebut ada sekawanan burung gagak yang sedang
mengerumuni sesuatu… maka segeralah terdetik di benakku bahawa burung
tersebut tidaklah berkerumun kecuali pada bangkai, atau sisa makanan.
Aku pun mendaki bukit tersebut dan mendatangi kawanan gagak tadi hingga mereka berhamburan terbang.
Tatkala kudatangi lokasi tersebut, ternyata remaja tersebut telah wafat
dengan badan terpotong-potong. Rupa-rupanya seekor serigala telah
menerkamnya dan memakan sebahagian dari tubuhnya, lalu meninggalkan
sisanya untuk burung-burung.
Aku lebih sedih memikirkan nasib or tang tua dari pada nasib remaja yang telah terkorban itu.
Aku pun turun dari bukit… dan melangkahkan kakiku dengan berat menahan kesedihan yang mendalam.
Haruskah kutinggalkan orang tua itu dan menghadapi nasibnya sendirian…
ataukah kudatangi dia dan ku khabarkan nasib yang menimpa anaknya itu?
Aku berjalan menuju ke khemah orang tua itu. Aku bingung bagaimana cara untuk menerangkan keadaan anaknya?
Lalu terlintaslah di hatiku akan kisah Nabi Ayyub ‘alaihissalaam. Maka
aku temui orang tua itu dan ia masih dalam keadaan yang sama seperti
ketika kutinggalkan. Ku ucapkan salam kepadanya, dan orang tua yang
malang itu menyatakan rasa rindunya dan teramat ingin melihat anaknya.
Dia mendahuluiku dengan bertanya: “Di mana anaknya?”
Namun kataku, “jawablah terlebih dahulu… siapakah yang lebih dicintai ALLAH engkau atau Ayyub ‘alaihissalaam?”
“Tentu Ayyub ‘alaihissalaam lebih dicintai ALLAH” jawabnya.
“Lantas siapakah di antara kalian yang lebih berat ujiannya?” tanyaku kembali.
“Tentu Ayyub…” jawabnya.
“Kalau begitu, berharaplah pahala dari ALLAH kerana aku mendapati anakmu
telah terkorban di lereng gunung… ia diterkam oleh serigala dan
dikoyak-koyak tubuhnya…” jawabku.
Maka orang tua itu pun tersedak-sedak seraya berkata, “Laa ilaaha
illallaaah…” dan aku berusaha meringankan musibahnya dan menyabarkannya…
namun sedakannya semakin keras hingga aku mulai mengajarkan kalimat
syahadat kepadanya… hingga akhirnya dia meninggal dunia.
Ia wafat di hadapanku, lalu kututupi jasadnya dengan selimut yang ada di
bawahnya… lalu aku keluar untuk mencari orang yang boleh membantuku
mengurus jenazahnya.
Maka kudapati ada tiga orang yang mengendarai unta mereka… nampaknya
mereka adalah para musafir, maka kupanggil mereka dan mereka datang
menghampiriku.
Kukatakan, “Mahukah kalian menerima pahala yang ALLAH tawarkan kepada
kalian? Di sini ada seorang muslim yang wafat dan dia tidak punya
siapa-siapa yang mengurusinya… mahukah kalian menolongku memandikan,
mengafani dan menguburkannya?”
“Ya..” Jawab mereka.
Mereka pun masuk ke dalam khemah menghampiri mayat orang tua itu untuk
memindahkannya. Namun ketika mereka menyingkap wajahnya, mereka saling
berteriak, “Abu Qilabah… Abu Qilabah…!!”
Ternyata Abu Qilabah adalah salah seorang ulama mereka, akan tetapi
waktu silih berganti dan ia dirundung berbagai musibah hingga menyendiri
dari masyarakat dalam sebuah khemah usang. Kami pun menunaikan
kewajiban kami atasnya dan menguburkannya, kemudian aku kembali bersama
mereka ke Madinah.
Malamnya aku bermimpi melihat Abu Qilabah dengan penampilan indah.
Beliau mengenakan gamis putih dengan badan yang sempurna… ia
berjalan-jalan di tanah yang hijau… maka aku bertanya kepadanya:
“Hai Abu Qilabah… apa yang menjadikanmu seperti yang kulihat ini?”
Maka jawabnya: “ALLAH telah memasukkanku ke dalam Jannah, dan dikatakan kepadaku di dalamnya:
( سلام عليكم بما صبرتم فنعم عقبى الدار )
Salam sejahtera atasmu sebagai balasan atas kesabaranmu… maka (inilah Syurga) sebaik-baik tempat kembali.
Kisah ini diriwayatkan oleh Al Imam Ibnu Hibban dalam kitabnya: “Ats Tsiqaat” dengan penyesuaian.
Diterjemahkan oleh Abu Hudzaifah Al Atsary dari kitab: ‘Aasyiqun fi Ghurfatil ‘amaliyyaat, oleh Syaikh Muh. Al Arify.
http://aminbenahmed.blogspot.com/2013/05/kisah-orang-sholih-abu-qilabah.html
Tiada ulasan:
Catat Ulasan