Siapa
tak kenal Guantanamo. Penjara yang sangat mengerikan dengan penjagaan
ekstraketat di Kuba itu biasa didedikasikan pemerintah Amerika Serikat
(AS) untuk mengurung para tokoh yang dianggap sebagai teroris. Sebagian
besar mereka berasal dari Irak dan Afghanistan. Kisah penyiksaan dan
pelecehan terhadap Alquran pernah ‘menghiasi’ penjara ini.
Dunia pun mereaksi negatif keberadaan
penjara Guantanamo. Tuntutan untuk menutup penjara tersebut mengalir
deras ke pemerintah AS. Presiden AS, Barrack Obama pun menyambut baik
tuntutan tersebut dengan berencana menutup penjara tersebut.
Tapi, bagi Terry Holdbrooks,
Guantanamo menjadi bagian hidup yang sangat berarti. Kehidupan para
tahanan yang penjara tersebut memberi pengaruh besar dalam hidup Terry.
Mulanya, dia hidup urakan. Kedua orang tuanya berpisah ketika Terry
berusia 7 tahun.]
Hingga tubuh dewasa di Arizona, dia sama
sekali dia tidak pernah mendengar soal Islam. Dia juga tidak pernah
paham akan keberadaan Tuhan. Kehidupan junkies, membawanya pada dunia
penuh maksiat. “Saat itu, tidak pernah saya berpikir tentang Islam,”
ujar dia seperti dikutip Guardian.
Di usia dewasa, dia mencoba melamar untuk
menjadi tentara. Dia kemudian diterima sebagai staf di polisi militer
hingga akhirnya dikirim ke Guantanamo di tahun 2003. Saat itu, dia baru
berusia 19 tahun. Penempatan itu pun dia terima begitu saja. Satu hal
yang saat itu dia pahami, Guantanamo adalah penjara untuk manusia
‘paling buruk di antara yang terburuk’.
“Saya menyaksikan rekaman video peristiwa
11 September,” tutur dia. Begitu menerima perintah ke Guantanamo, dia
berpikir bakal bertemu dengan orang-orang yang oleh AS dianggap sebagai
musuh. “Di situ ada sopirnya Usamah Bin Ladin, juru masaknya, dan
orang-orang yang akan membunuhku saat mendapatkan kesempatan,” ungkap
dia mengungkapkan bayangannya saat itu.
Sesampai di Guantanamo, segudang
pertanyaan pun muncul. Saat itu, dia pertama kali bertemu dengan seorang
tahanan yang usianya baru 16 tahun. Kata dia, sang tahanan mengaku sama
sekali belum pernah melihat laut. Dia juga menyatakan tidak mengetahui
bahwa bumi itu bulat. Dalam hati, Terry pun bertanya-tanya soal
kemungkinan anak itu mengetahui rencana dunia gagasan pemerintah AS
bernama war on terror (gerakan global memerangi terorisme).
Saat itu, Terry bertugas untuk
membersihkan lingkungan, mengumpulkan sampah, membangunkan para tahanan,
juga memverifikasi para tahanan. Pekerjaan itu memungkinkannya untuk
berinteraksi langsung dengan para tahanan di penjara Guantanamo. Dari
situlah, cahaya Islam mulai memancar ke dalam jiwa Terry.
Saat para penjaga yang lain menyibukkan
diri dengan alkohol dan gambar porno, Terry justru banyak memanfaatkan
waktu untuk berinteraksi dengan orang-orang yang selama ini dianggap
oleh pemerintah AS sebagai teroris. Modal senyum membuatnya cepat ramah
dengan ‘warga’ Guantanamo. Dia pun dikenal sebagai penjaga yang baik.
“Saya mulai bicara soal latar belakang
politik, etnik, moral, juga budaya mereka,” ujar dia mengungkapkan.
Hasil diskusi itu memberinya banyak pencerahan. Dari para tahanan
inilah, dia kemudian mulai mendapatkan informasi tentang Islam. Hal ini
membuat dia mengalami gegar budaya mengingat sebelumnya dia sama sekali
tidak pernah mendengarnya. Hingga dewasa, Terry juga tidak bertuhan.
Sampailah pada suatu sore tanggal 29
Desember 2003, dia mengakhiri gegar budayanya itu dengan keputusan yang
sangat mengesankan. Dia memutuskan untuk mengucap syahadat dan masuk
Islam. Seorang tahanan yang menjadi mentornya memimpin upacara sederhana
pengucapan syahadat. Dia lalu meninggalkan segala jenis maksiat,
termasuk kebiasannya mengonsumsi minuman keras.
“Tidak mudah buat kami saat itu untuk
bisa menjalankan shalat lima waktu,” kata dia mengenang pengalamannya di
Guantanamo. Tapi, hal itu tidak membuatnya menyerah. Dia justu
bertambah mantap untuk tetap berada dalam Islam. Terry merasa terlahir
kembali, begitu mengucap syahadat. Sesaat setelah mengucap syahadat, dia
pun berganti nama menjadi Mustafa Abdullah.
Di musim panas tahun 2004, dia merasa
tidak cocok lagi berada di Guantanamo. Dia meninggalkan tempat kerjanya
dan keluar dari militer. Selama menjadi penjaga tahanan, dia pun mengaku
merasa malu. Meski tubuhnya berada di balik terali besi, kata dia,
sebenarnya para tahanan itu jiwanya jauh lebih merdeka. “Sementara saya
yang fisiknya bebas, jiwanya terkekang oleh aturan militer,” kata Terry.
Dia pun memilih keluar untuk bisa lebih mantap dan istiqamah
menjalankan ajaran-ajaran Islam. guardian/irf
http://kisahmuallaf.wordpress.com/
Tiada ulasan:
Catat Ulasan