DIKISAHKAN ada seorang guru SD yang bertanggung jawab mengajar kelas
yang penuh dengan anak-anak hiperaktif , brilian, kreatif, ceria dan
cerewet. Sehingga kelasnya menjadi kelas paling ribut di sekolah itu.
Pada suatu hari, saat ibu guru mengawasi anak-anak yang tengah
bermain di waktu istirahat pagi, dia melihat dua muridnya berkelahi
sementara yang lainnya bersorak-sorai. Lekas dia berlari untuk melerai
perkelahian dan membawa kedua murid itu ke kantor kepala sekolah.
“Coba ceritakan ada apa?” tanya kepala sekolah. “Dia memukul saya ,”
jawab bocah laki-laki yang berambut pirang. ”Mengapa kau pukul dia?”
tanya sang kepala sekolah lagi. “Dia bilang saya gendut dan lamban dan
katanya saya ini kuda nil,” jawab anak laki-laki yang berambut hitam
dengan berlinang air mata.
Keesokan harinya, kelas lebih tenang. Anak-anak jelas masih
terpengaruh oleh perkelahian itu, maka bu guru membuat rencana. Ibu guru
itu memanggil salah seorang anak perempuan ke depan kelas. ”Anak-anak,
hari ini kita akan melakukan eksperimen.Ibu punya sebutir telur.
A akan
membantu Ibu memecahkan telur, Ibu ingin semua mengamati apa yang
terjadi pada telur itu.” Sambil meminta anak perempuan itu untuk
memecahkan telurnya, “ Oke A, telur itu boleh kau pecahkan sekarang.”
Sewaktu A memecahkan telur, Ibu guru bertanya, “ Ada yang bisa
memberi tahu Ibu apa yang kalian lihat?”
Tangan-tangan kecil teracung
penuh semangat. “Ya, B!” Bu guru menunjuk seorang anak
laki-laki. “Telurnya terbelah jadi dua, dan aku bisa melihat putih dan
kuning telurnya tumpah ke dalam mangkuk,” kata B.
“Bagus sekali!” timpal
bu guru.
Nah, kalian siap? Kalau kalian tahu jawabannya, tunjuk tangan. Untuk
satu minggu tanpa pekerjaan rumah, siapa yang bisa mengatakan kepada Ibu
bagaimana Ibu bisa mengembalikan isi telur ke dalam cangkangnya?”
Seluruh kelas jadi hening. Tidak ada tangan yang terangkat, hanya
wajah-wajah bingung di segenap penjuru. Sang guru tersenyum dan menggoda
anak-anak itu. “Ayo, Ibu menunggu jawaban kalian.”
“Bu guru, kita tidak bisa mengembalikan isi telur bukan?” tanya
seorang anak penasaran.
“Menurutmu Bagaimana?” Ibu guru balik
bertanya. “Tidak bisa bu, kurasa tidak bisa,” jawab anak itu
hati-hati.
“Bagus, kau benar! Kita tidak bisa membuat telur itu utuh
lagi. Dan kalian tahu sebabnya? Sekali sebutir telur pecah, dia akan
tetap pecah,” tutur Ibu guru sambil menoleh pada dua anak laki-laki yang
berkelahi.”
“Begitu pula dengan kata-kata. Setiap kali sepatah kata keluar dari
mulut, kata itu tidak akan pernah bisa kembali. Itulah sebabnya kita
harus berhati-hati dengan apa yang kita katakan kepada orang lain.
Kata-kata bisa menyakitkan, persis seperti memecahkan sebutir telur,”
lanjut bu guru.
Si bocah berambut pirang berdiri, berjalan menghampiri temannya dan berkata, “Aku minta maaf sudah menyebutmu gendut.”
“Aku minta maaf sudah memukulmu,” jawab temannya yang berambut gelap.
Bu guru tersenyum. Tak lama kemudian kelasnya sudah gaduh lagi.
Subhanallah, benar sekali bukan? Setiap kata keji yang keluar dari
mulut kita ibarat telur yang pecah. Tak peduli sekeras apa kita
berusaha, kita tidak akan bisa mengembalikan isi telur yang pecah
kedalam cangkangnya lagi, apalagi menyatukan cangkang itu hingga utuh
lagi.
Begitu sepatah kata meninggalkan mulut kita, kata itu tidak akan
pernah bisa kembali.Tidak akan pernah. Dan, begitu sampai tujuannya,
kata itu akan masuk melalui telinga si penerima, menuju ke hatinya,
menghancurkan hati yang rapuh itu, dan melukai perasaan orang itu.
Kisah tentang telur ini membuat kita berfikir. Pernahkah kita
menyakiti hati seseorang dengan perkataan kita, kita sadari atau
tidak? Pernahkah kita menjadi si bocah berambut pirang yang memecahkan
sebutir telur?
Atau lebih buruk lagi jangan-jangan beberapa telur dan
bukan hanya satu? Seandainya pernah, telur siapakah yang kita
pecahkan? Sadarkah kita sewaktu memecahkan telur-telur itu? Sakitkah
telur-telur itu saat kita pecahkan? Astagfirullah hal ‘Adzim.
Jika kita pernah memecahkan telur-telur itu, mungkin sekarang saatnya
untuk mengatakan kepada diri sendiri keutamaan diam setiap kali
mempunyai kata-kata tidak baik untuk diucapkan, bukan begitu?
Seperti yang pernah dikatakan Earl Wilson, “ Kata-kata yang tidak ingin kau tulis dan kau tanda tangani jangan kau ucapkan.”
posislam
Tiada ulasan:
Catat Ulasan