Sabtu, 23 Mac 2013

Azazil - Penghulu Malaikat Jadi Raja Iblis




Cerita tentang kesombongan, tentang takabur, tentang selalu berbangga diri, adalah sebuah kisah yang lebih tua dibanding penciptaan manusia. Ia hadir dan berawal ketika manusia masih dalam perencanaan penciptaan. Karena hanya para malaikat makhluk yang diciptakan sebelum manusia, kesombongan sejatinya berhulu dari malaikat. ADALAH Azazil, malaikat yang dikenal penduduk surga karena doanya mudah dikabulkan oleh Allah. Karena selalu dikabulkan oleh Allah, bahkan para malaikat pernah memintanya untuk mendoakan agar mereka tidak tertimpa laknat Allah. 





Tersebutlah suatu ketika saat berkeliling di surga, malaikat Israfil mendapati sebuah tulisan 'Seorang hamba Allah yang telah lama mengabdi akan mendapat laknat dengan sebab menolak perintah Allah.' Tulisan yang tertera di salah satu pintu surga itu, tak pelak membuat Israfil menangis. Ia takut, itu adalah dirinya. Beberapa malaikat lain juga menangis dan punya ketakutan yang sama seperti Israfil, setelah mendengar kabar perihal tulisan di pintu surga itu dari Israfil. Mereka lalu sepakat mendatangi Azazil dan meminta didoakan agar tidak tertimpa laknat dari Allah. Setelah mendengar penjelasan dari Israfil dan para malaikat yang lain, Azazil lalu memanjatkan doa.

'Ya Allah. Janganlah Engkau murka atas mereka.'

Di luar doanya yang mustajab, Azazil dikenal juga sebagai Sayidul Malaikat alias penghulu para malaikat dan Khazinul Jannah (bendaharawan surga). Semua lapis langit dan para penghuninya, menjuluki Azazil dengan sebutan penuh kemuliaan meski berbeda-beda.

Pada langit lapis pertama , ia berjuluk Aabid, ahli ibadah yang mengabdi luar biasa kepada Allah pada langit lapis pertama,

Di langit lapis kedua, julukan pada Azazil adalah Raki atau ahli ruku kepada Allah,
Di langit lapis ke tiga, ia berjuluk Saajid atau ahli sujud,
Di langit ke empat ia dijuluki Khaasyi karena selalu merendah dan takluk kepada Allah,

Di langit lapis kelima menyebut Azazil sebagai Qaanit Karena ketaatannya kepada Allah,
Di langit keenam Gelar Mujtahid, karena ia bersungguh-sungguh ketika beribadah kepada Allah. Pada langit ketujuh, ia dipanggil Zaahid, karena sederhana dalam menggunakan sarana hidup.

Selama 120 ribu tahun, Azazil, si penghulu para malaikat menyandang semua gelar kehormatan dan kemuliaan, hingga tibalah ketika para malaikat melakukan musyawarah besar atas undangan Allah. Ketika itu, Allah, Zat pemilik kemutlakan dan semua niat, mengutarakan maksud untuk menciptakan pemimpin di bumi.

'Sesungguhnya Aku hendak menciptakan seorang khalifah (pemimpin) di muka bumi.'  begitulah firman Allah.(QS. Al Baqarah : 30) Semua malaikat hampir serentak menjawab mendengar kehendak Allah.

'Ya Allah, mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di muka bumi, yang hanya akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah di bumi, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau.' (QS. Al Baqarah : 30) Allah menjawab kekhawatiran para malaikat dan meyakinkan bahwa,

'Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.' (QS. Al Baqarah : 30)

Allah lalu menciptakan manusia pertama yang diberi nama Adam. Kepada para malaikat, Allah memperagakan kelebihan dan keistimewaan Adam, yang menyebabkan para malaikat mengakui kelebihan Adam atas mereka. Lalu Allah menyuruh semua malaikat agar bersujud kepada Adam, sebagai wujud kepatuhan dan pengakuan atas kebesaran Allah. Seluruh malaikat pun bersujud, kecuali Azazil.

'Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat 'Sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir' (Al Baqarah: 34)

Bersemi Sejak di Awal Surga

Sebagai penghulu para malaikat dengan semua gelar dan sebutan kemuliaan, Azazil merasa tak pantas bersujud pada makhluk lain termasuk Adam karena merasa penciptaan dan statusnya yang lebih baik. Allah melihat tingkah dan sikap Azazil, lalu bertanya sembari memberi gelar baru baginya Iblis. 'Hai Iblis, apakah yang menghalangimu untuk bersujud kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri (takabur) ataukah kamu merasa termasuk orang-orang yang lebih tinggi?' Mendengar pernyataan Allah, bukan permintaan ampun yang keluar dari Azazil, sebaliknya ia malah menantang dan berkata,

'Ya Allah, aku (memang) lebih baik dibandingkan Adam. Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan Adam Engkau ciptakan dari tanah.'

Mendengar jawaban Azazil yang sombong, Allah berfirman.
'Keluarlah kamu dari surga. Sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang diusir'.

Azazil alias Iblis, sejak itu tak lagi berhak menghuni surga. Kesombongan dirinya, yang merasa lebih baik, lebih mulia dan sebagainya dibanding makhluk lain telah menyebabkannya menjadi penentang Allah yang paling nyata. Padahal Allah sungguh tak menyukai orang-orang yang sombong.

'Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia karena sombong dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanakanlah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.'

Bibit kesombongan dari Azazil sejatinya sudah bersemai sejak Israfil dan para malaikat mendatanginya agar mendoakan mereka kepada Allah. Waktu itu, ketika mendengar penjelasan Israfil, Azazil berkata,

'Ya Allah! Hamba-Mu yang manakah yang berani menentang perintah-Mu, sungguh aku ikut mengutuknya.'

Azazil lupa, dirinya adalah juga hamba Allah dan tak menyadari bahwa kata 'hamba' yang tertera pada tulisan di pintu surga, bisa menimpa kepada siapa saja, termasuk dirinya.

Lalu, demi mendengar ketetapan Allah, Iblis bertambah nekat seraya meminta kepada Allah agar diberi dispensasi. Katanya,

'Ya Allah, beri tangguhlah aku sampai mereka ditangguhkan.'

Allah bermurah hati, dan Iblis mendapat apa yang dia minta yaitu masa hidup panjang selama manusia masih hidup di permukaan bumi sebagai khalifah. Dasar Iblis, Allah yang maha pemurah, masih juga ditawar. Ia lantas bersumpah akan menyesatkan Adam dan anak cucunya, seluruhnya, Kecuali hamba-hambaMu yang mukhlis di antara mereka.

' Maka kata Allah, 'Yang benar adalah sumpah-Ku dan hanya kebenaran itulah yang Kukatakan. Sesungguhnya Aku pasti akan memenuhi neraka jahanam dengan jenis dari golongan kamu dan orang-orang yang mengikutimu di antara mereka semuanya.'

Menular pada Manusia Korban pertama dari usaha penyesatan yang dilakukan Iblis, tentu saja adalah Adam dan Hawa. Dengan tipu daya dan rayuan memabukkan, Nabi Adam as. dan Siti Hawa lupa pada perintah dan larangan Allah. Keduanya baru sadar setelah murka Allah turun. Terlambat memang, karena itu Adam dan Hawa diusir dari surga dan ditempatkan di bumi. Dan sukses Iblis menjadikan Adam dan Hawa sebagai korban pertama penyesatannya, tak bisa dilihat sebagai sebuah kebetulan. Adam dan Hawa, bagaimanapun adalah Bapak dan Ibu seluruh manusia, awal dari semua sperma dan indung telur. Mereka berdua, karena itu menjadi alat ukur keberhasilan atau ketidakberhasilan Iblis menyesatkan manusia. Jika asal usul seluruh manusia saja, berhasil disesatkan apalagi anak cucunya.

Singkat kata, kesesatan yang di dalamnya juga ada sombong, takabur, selalu merasa paling hebat, lupa bahwa masih ada Allah, juga sangat bisa menular kepada manusia sampai kelak di ujung zaman.

Di banyak riwayat, banyak kisah tentang kaum atau umat terdahulu yang takabur menentang dan memperolokkan hukum-hukum Allah, sehingga ditimpakan kepada mereka azab yang mengerikan. Kaum Aad, Tsamud, umat Nuh, kaum Luth, dan Bani Israil adalah sedikit contoh dari bangsa-bangsa yang takabur dan sombong lalu mereka dinistakan oleh

Allah, senista-nistanya. Karena sifat takabur pula, sosok-sosok seperti Fir'aun si Raja Mesir kuno, Qarun, Hamaan dan Abu Jahal juga mendapatkan azab yang sangat pedih di dunia dan pasti kelak di akhirat.

Pada zaman sekarang, manusia sombong yang selalu menentang Allah bukan berkurang, sebaliknya malah bertambah. Ada yang sibuk mengumpulkan harta dan lalu menonjolkan diri dengan kekayaannya. Yang lain rajin mencari ilmu, namun kemudian takabur dan merasa paling pintar. Sebagian berbangga dengan asal usul keturunan; turunan ningrat, anak kiai, dan sebagainya. Ada juga yang merasa diri paling cantik, paling putih, paling mulus dibanding manusia lain. Mereka yang beribadah, shalat siang malam, puasa, zakat dan berhaji merasa paling saleh dan sebagainya. Ada yang meninggalkan perintah-perintah Tuhan hanya karena mempertahankan dan bangga dengan budaya warisan nenek

moyang, dan seolah-olah segala sesuatu di luar budaya itu tak bernilai. Tak sedikit juga yang mengesampingkan larangan-larangan Allah hanya karena menguber era laju zaman modern yang selalu dibanggakan. Sebagai manusia, orang-orang semacam itu tak bermanfaat sama sekali. Mata jasmani mereka memang melihat, tapi mata hatinya sudah buta melihat kebenaran dan kebesaran Allah. Allah telah dijadikan nomor dua, sementara yang nomor satu adalah diri dan makhluk lain di sekitar dirinya. Hati mereka menjadi gelap tanpa nur iman sebagai pelita. Akal mereka tidak dapat membedakan antara yang hak (benar) dengan yang batil (salah).

'Kemudian dia berpaling (dari kebenaran) dan menyombongkan diri (takabur)'
(Al Muddatstsir: 23).

Iblis sebagai pelopor sifat takabur selalu mendoktrin kepada siapa saja sifat takabur, dan mewariskannya kepada jin dan manusia. Tujuannya jelas, untuk menyebarkan sumpah (Iblis) pada golongannya sebagaimana golongan setan dari jenis jin. Setan tentu dominan untuk menjerumuskan dan menyesatkan bangsa jin, begitu pula setan dari golongan jenis manusia, sangat dominan untuk menjerumuskan dan menyesatkan bangsa manusia.

'Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka jahanam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-

tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai' (Al Araaf: 179).

Penawar Takabur

Seperti penyakit hati yang lain, mengobati sifat dan sikap sombong bukan perkara mudah. Tak ada dokter, tabib, atau sinse yang sanggup mengobatinya. Dari yang tidak mudah itu, ada beberapa yang bisa disebut sebagai obat mengatasi sombong atau takabur.

Pertama adalah tawadu atau merendahkan hati. Hanya dengan sikap rendah hati, meyakini tak ada yang lebih dan tak ada yang patut dibanggakan dari diri dan apapun yang diperbuat diri, semua kesombongan bisa disingkirkan. Sikap tawadu bisa mengimbangi dan menetralkan jiwa dari sifat takabur, karena hanya dengan rendah hati manusia bisa

melaksanakan perintah Allah. Seorang yang selalu rendah hati, maka padanya tidak akan ada rasa congkak dan besar diri apalagi merasa lebih dari yang lain. Ia senantiasa meyakini sesuatu yang istimewa pada dirinya atau orang lain, semata karena anugerah Allah.

Kedua adalah Tawakal melawan sombong. Dengan tawakal alias berserah diri sepenuhnya kepada Allah maka akal akan menyadari dan hati akan meyakini, semua yang terjadi pada manusia dan seluruh makhluk adalah atas kehendak Allah dan karena itu tak layak bagi manusia untuk menyombongkan diri selain hanya berpasrah pada Allah. Sifat takabur

senantiasa mengajak manusia untuk berbuat ingkar kepada Allah, sebaliknya tawakal senantiasa menyuruh manusia berbuat menurut ketentuan Allah.
 'Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai

orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.' (Ali 'Imran: 159).

Ibarat manusia, maka akan didapati tawadu adalah sebagai ruh, dan tawakal sebagai jasad. Karena menyangkut tentang kesempurnaan dimensi batiniah dan dimensi jasmaniah, maka sangat jelas keberadaan dua sifat ini (tawadu dan tawakal) sangat menentukan untuk menetralkan keberadaan nafsu (jiwa) yang bertempat antara ruh dan jasad (lahiriah dan batiniah), termasuk sifat sombong. Karena itu jika ruh dan jasad tadi tak bersatu, sulit bagi manusia bisa mencapai derajat sebagai manusia utuh atau insan kamil. 
 http://www.budakladang.com

Tiada ulasan:

Catat Ulasan

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...