Khamis, 9 Mei 2013

Ucapan 4 Imam Madzhab

4-mazhab

UCAPAN IMAM ABU HANIFAH (AN-NU’MAN BIN TSABIT)

* “Apabila hadits itu shahih maka hadits shohih itulah madzhabku” (Dinukil oleh Ibnu Abidin Al-Asyiah Jilid I; 63)
* “ Tidak halal bagi seseorang untuk mengambil pendapat kami selama dia tidak mengetahui dari mana kami telah mengambilnya”.
Dalam riwayat lain, “Haram atas siapa saja yang tidak mengetahui dalilku untuk memberikan atwa dengan pendapatku”. Dalam riwayat yang lain, “Sesungguhnya kami adalah manusia biasa, hari ini kami mengatakan sesuatu pendapat dan ternyata besok kami rujuk dari pendapat itu (meralatnya).”.





 Diriwayatkan pula, “Bagaimana kau ini wahai Ya’kub (Abu Yusuf), jangan kau tulis semua yang kau dengar dari aku karena sesungguhnya boleh jadi hari ini aku mempunyai suatu pendapat dan besok aku meninggalkannya. Atau besok saku mempunyai pendapat dan ternyata besok lusa aku meninggalkannya.” (Dinukil oleh Ibnu Abidin dalam Al-Asyiah Jilid I; 293).
* “Apabila aku mengatakan suatu pendapat yang menyelisihi kitab Allah dan hadits Rasulullah saw maka tinggalkanlah pendapatku.”

UCAPAN IMAM MALIK BIN ANAS

* “Aku hanyalah manusia biasa, kadang salah, kadang benar, maka perhatikanlah pendapatku. Semua yang sesuai Al-Qur’an dan As-Sunnah hendaklah kau ambil dan yang tidak sesuai dengan keduanya maka tinggalkanlah” (Dinukil oleh Ibnu Abdil Bar dalam Jami’ Al-Yanul ‘Ilmi: Jilid II; 32)
* “Tiadalah seorangpun setelah Nabi Muhammad saw melainkan bisa diambil pendapatnya dan bisa ditolak kecuali ucapan Nabi Muhammad saw”
* ” Berkata Ibnu Wahab: “Aku mendengar Imam Malik ditanya tentang menyela jari-jari kaki ketika wudhu. Beliau menjawab: “Hal itu tidak wajib atas manusia”. Berkata Ibnu Wahab: lalu aku meninggalkannya dan orang-orang pun meninggalkan (menyela jari-jari). Lalu aku berkata kepada beliau: kami mempunyai hadits tentang hal itu. Beliau menjawab: “Apa haditsnya?” Aku menjawab: Telah memberikan hadits Al’Laits bin Sa’d dan Ibnu Lahi’ah dan Amir bin Al-Haris dan Yazid bin Amr Al-Muwafiri dari Abdirrohman Al-Hambali dari sahabat Mustahid Al-Khurasyi beliau berkata, “Aku pernah melihat Rasulullah saw beliau menyela-nyela dengan jari kelingkingnya di antara jari-jari kedua kakinya.” Lalu Imam Malik berkata, “Sesungguhnya hadits ini baik dan aku tidak pernah mendengarnya kecuali saat ini.” Kemudian aku mendengar beliau apabila ditanya (tentang masalah ini) maka beliau perintahkan untuk menyela-nyela dengan jari.” (Dinukil oleh Ibnu Abi Khatim dalam Muqoddimah Al-Zaroh: 31-32)

UCAPAN IMAM ASY-SYAFI’I (MUHAMMAD BIN IDRIS)

* “Tiadalah seorangpun melainkan pasti ada sunnah nabi (hadits) yang hilang daripadanya dan tidak diketahuinya. Maka kapan saja aku mengatakan suatu pendapat atau meralat suatu rumusan yang ternyata terdapat hadits dari Nabi yang menyelisihi pendapatku itu maka hendaklah yang diamalkan adalah hadits Nabi dan itulah pendapatku.” (Dinukil oleh Ibnu Asakir dalam Tariq Dimas Jilid XV: 1)
* “Kaum muslimin telah berijma’ bahwasanya siapa saja yang telah jelas baginya sunnah (hadits) dari Rasulullah saw, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya dikarenakan pendapat seseorang.”
Syarat hadits dapat dijadikan dalil jika hadits tersebut shohih dan shorih
:: Menurut Imam Syafi’I makan daging unta adalah tidak batal wudhunya, sedangkan ada hadits yang shohih dan shorih yang menyatakan bahwa makan daging unta adalah batal wudhunya
:: Hadits shorih tapi tidak shohih, misal: khitan perempuan
:: Hadits shohih tapi tidak shorih, misal: merapikan jenggot [tidak ada hadits yang menunjukkan secara jelas larangan merapikan jenggot] yang shorih adalah kewajiban memelihara jenggot.
Sayyid sabiq berkata dalam hal ini, “Peliharalah jenggot, jangan memotongnya  hingga habis atau menipiskannya hingga seolah-olah tidak berjenggot  dan hendaknya merapikan jenggot sehingga lebih enak dipandang   (jangan membiarkan jenggot tidak berurus)

* “Apabila kamu mendapatkan di dalam kitabku yang menyelisihi sunnah Rasulullah saw maka katakanlah yang sesuai sunnah Rasulullah saw dan tinggalkan pendapatku.” Dalam riwayat lain, “maka hendaklah kamu mengikuti sunnah Rasulullah saw dan jangan menengok pendapat siapapun.” (Dinukil oleh Imam An-Nawawi)
* “Apabila hadits itu shohih maka itulah madzhabku.” (Dinukil oleh oleh Imam Nawawi)
* “Kalian lebih mengerti tentang hadits dan rijal daripada aku. JIka sebuah hadits shohih maka beritahukanlah kepadaku siapapun perawinya, orang kuffah/orang busyroh/orang syam, sehingga aku berpendapat dengannya jika haditsnya shohih.” (Dinukil oleh Al-Khotib dalam Hijaj Asy-Syafi’i)
* “Suatu masalah yang telah shohih haditsnya menurut para ahli hadits yang menyelishi pendapatku maka aku ruju’ (ralat) dari pendapatku baik jika aku masih hidup atau setelah matiku.” (Dinukil oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah)
* “Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu pendapat padahal telah shohih dari Rasulullah saw yang menyelishinya maka ketahuilah bahwa akalku telah hilang.” (Dinukil oleh Ibnu Asakir)
* “Semua apa yang aku ucapkan yang ternyata terdapat hadits shohih yang menyelisihi ucapanku maka hadits nabi itulah yang lebih pantas. Janganlah kalian bertaqlid kepadaku.” (Dinukil oleh Ibnu Asakir)
* “Semua hadits dari Nabi Muhammad saw adalah pendapatku walaupun kamu tidak mendengarnya dariku.” (Dinukil oleh Ibnu Asakir)

UCAPAN IMAM AHMAD BIN HAMBAL

* “Janganlah bertaqlid kepadaku, jangan pula bertaqlid kepada Malik, jangan pula bertaqlid kepada Asy-Syafi’I dan jangan pula kepada Al-Auza’i  dan jangan pula kepada Ats-Tsauri. Dan ambillah dari mana mereka mengambilnya [kembali kepada dail-dalil yang shohih].” (Dinukil oleh Ibnul  Qoyyim dalam ‘I’lamul Muwaqi’in).
Dalam riwayat lain, “…janganlah kamu bertakqlid dalam agamamu kepada seorangpun dari mereka. Apa saja yang datang dari Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya maka kamu ambil kemudian tabi’in setelah itu seseorang boleh memilih.”, dalam riwayat lain, “Al-Ittiba’ adalah seseorang mengikuti apa yang datanag dari Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya kemudian setelah tabi’in dia boleh memilih.” (Dinukil oleh Abu Daud dalam Masail)
* “Pendapat Al’Auza’i, pendapat Malik dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat dan dihadapanku semuanya sama, hanya saja yang dijadikan dalil adalah Al-Atsar (hadits Rasulullah).” (Dinukil oleh Ibnu Abdil Bar dalam Al-Jami’)
* “Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah maka dia berada diujung kebinasaan.” (Dinukil oleh Ibnul Jauzi dalam Al-Manakib)

Sumber: islam2u/blogammar


Tiada ulasan:

Catat Ulasan

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...